Jajak Pendapat KOMPAS
Senin, 03 April 2006
Di mata masyarakat, konsep megapolitan yang selama ini dikhawatirkan oleh sebagian elite lokal bukanlah sesuatu yang mengkhawatirkan. Sebab, bagi mereka, persoalan yang paling penting dalam memberdayakan wilayah adalah bagaimana masyarakat dapat mendapatkan pelayanan publik yang lebih baik dan efisien.
Kesimpulan ini diperoleh berdasarkan jajak pendapat Kompas yang diselenggarakan pada 23-24 Maret 2006. Sikap positif 62,8 persen dari 656 responden yang tersebar di wilayah DKI Jakarta, Bekasi, Tangerang, Depok, Bogor, dan Cianjur mengisyaratkan bahwa kota megapolitan yang melibatkan berbagai wilayah di sekeliling DKI Jakarta merupakan usul yang baik bagi perkembangan di daerahnya.
Ada berbagai persoalan yang menimbulkan kuatnya keinginan publik terhadap daerahnya untuk masuk dalam satu wilayah megapolitan. Yang pertama, terkait dengan pelayanan pemerintah daerah terhadap masyarakat. Persoalan kelambanan, ketidakefektifan, dan ketidakefisienan pemerintah daerah dalam melayani masyarakat adalah satu alasan publik terhadap penerimaan konsep megapolitan.
Bahkan, 59,5 persen responden menyatakan ketidapuasannya terhadap kinerja pemerintah daerahnya dalam melayani masyarakat. Tidak mengherankan jika hampir 60 persen responden pun mengungkapkan hal yang sama dalam mencermati kinerja pemerintah daerah dalam menyediakan sarana dan prasarana bagi masyarakat.
Di tengah kinerja pemerintah daerah yang dianggap tidak mampu mengadopsi keinginan masyarakat itu, kehadiran wilayah megapolitan lalu ditanggapi dengan sikap penuh optimisme. Konsep megapolitan akan mewadahi DKI Jakarta dan daerah penyangganya, yaitu Bogor, Tangerang, Bekasi, Depok, dan Cianjur.
Sebagai satu kesatuan wilayah, tujuan ideal yang diharapkan adalah memadukan semua unsur pengembangan dan pembangunan kota. Sebab, selama ini kawasan Jabodetabekjur (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur) telah berkembang tanpa memedulikan tata kelola lingkungan daerah masing-masing. Dampak pembangunan, terutama di wilayah-wilayah penyangga DKI Jakarta, justru semakin berat.
Kepentingan warga pun menjadi telantar karena kebutuhan masyarakat yang kian kompleks tidak mampu diakomodasi secara menyeluruh oleh pemerintah daerah masing-masing.
Menyikapi kehadiran megapolitan, meskipun terdapat pro dan kontra, secara umum publik menanggapi secara positif. Dari aspek administratif pemerintahan, misalnya, 57,8 persen responden menyatakan sikap setuju jika semua wilayah yang dimaksud dalam megapolitan berada dalam satu wilayah administratif. Hal ini dikarenakan akan mengefektifkan dan mempermudah akses pemerintah kepada masyarakat. Meskipun demikian, publik bersikap ragu jika konsep megapolitan ini berakibat mengurangi peran dan kekuasaan kepala daerah masing-masing. Bahkan, 61,9 persen responden tidak setuju jika sosok kepala daerah harus dihilangkan demi mewujudkan kota megapolitan.
Selama ini telah muncul perdebatan antara eksekutif dan legislatif lokal dalam memahami konsep megapolitian. Kalangan eksekutif, baik gubernur, wali kota, maupun bupati di sebagian daerah Jawa Barat dan Banten, cenderung setuju dan mendukung konsep megapolitan yang akan menyinergikan konsep tata ruang secara terpadu. Namun, hal yang berbeda justru terjadi di kalangan legislatif lokal.
DPRD Provinsi Banten dan Jawa Barat sepakat menolak jika konsep megapolitan menjadi salah satu masalah yang diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Negara Indonesia Jakarta. Penolakan tersebut adalah wajar mengingat konsep megapolitan bisa mengarah pada pengertian peleburan wilayah administratif atau pencaplokan wilayah.
Dari perspektif geopolitik, pencaplokan wilayah yang menyudutkan peran kepala daerah memang berakibat negatif, baik bagi pemerintah pusat maupun pemerintah lokal di daerah masing-masing. Hal ini pun dikhawatirkan publik. Sebab, di satu sisi, jika semua kepala daerah hilang, beban politik pemerintah pusat yang berlebihan justru akan makin sarat.
Di sisi lain, hilangnya peran kepala daerah, selain berlawanan dengan spirit otonomi daerah, juga mengebiri demokrasi yang sedang dibangun.
Munculnya pro dan kontra di tingkat eksekutif-legislatif terhadap konsep megapolitan tak urung memunculkan kekhawatiran publik. Kondisi ini terekam di benak 67,5 persen responden yang mengkhawatirkan pembentukan wilayah megapolitan akan menimbulkan konflik antarelite politik. Bahkan, 66,8 persen responden mengkhawatirkan konflik vertikal yang terjadi di tingkat elite akan merembet dan menimbulkan konflik horizontal di masyarakat.
Terlepas dari isi usulan revisi UU No 34/1999, sebenarnya yang lebih penting diawasi oleh eksekutif-legislatif lokal adalah ekses negatif yang menimbulkan perubahan nilai-nilai di masyarakat. Hal ini sudah disadari oleh 59,1 persen responden yang mengkhawatirkan pembentukan wilayah megapolitan berpengaruh negatif terhadap kehidupan masyarakat lokal di daerahnya.
Bahkan, 61,4 persen responden meyakini jika konsep megapolitan sudah terwujud, pelan tapi pasti, ciri kelokalan di daerahnya pasti akan terbabat habis. Namun, di balik kekhawatiran-kekhawatiran yang dimungkinkan terjadi, sebagian besar publik menyimpan keyakinan bahwa konsep megapolitan akan diterima oleh masyarakat. Faktor ini banyak dipengaruhi oleh ketimpangan-ketimpangan yang terjadi selama ini, baik ketimpangan ekonomi, sosial, maupun sarana umum yang jauh berbeda antara DKI Jakarta dan daerah pinggiran.
Melihat kondisi di daerahnya saat ini, 59,6 persen responden meyakini implementasi megapolitan nantinya akan memajukan perekonomian di daerahnya. Jika hal ini terjadi, harapan akan munculnya wilayah-wilayah ekonomi baru tidak hanya bergantung kepada pihak pengembang swasta yang cenderung melahirkan wilayah satelit-satelit tanpa memandang aspek kelola lingkungan secara arif. Selain itu, keyakinan publik akan meningkatnya kuantitas dan kualitas sarana umum yang memadai diharapkan seirama dengan kemudahan masyarakat dalam mendapatkan akses pelayanan pemerintah.
Dengan demikian, Deklarasi Konferensi United Nations Centre for Regional Development (UNCRD) yang menyebutkan dalam konsep megapolitan terdapat beberapa bidang yang harus dikelola bersama, yaitu tata ruang, air, angkutan umum, listrik, sanitasi, kebakaran, pendidikan, dan kesehatan akan mampu terjawab. Dan, pada akhirnya konsep megapolitan yang secara holistik mampu mengakomodasi semua persoalan di pusat maupun pinggiran, bisa jadi, menjadi jawaban atas ketidakmampuan wilayah Jabodetabekjur dalam memenuhi kebutuhan masyarakat selama ini.
(TWEKI TRIARDIANTO,Litbang Kompas)
Read More......