Senin, 21 April 2008

PARTAI & PUBLIK, BERBEDA PILIHAN

Jajak Pendapat INSPIRA
21 April 2008

Meskipun KPUD Jawa Barat dan Sumatera Utara secara sah belum menentukan pemenang calon gubernur di masing-masing wilayah, hasil quick count beberapa lembaga dan perhitungan sementara KPUD memposisikan HADE di Jawa Barat dan SYAMPURNO di Sumatera Utara di tempat teratas memberi sinyal perlunya partai politik besar berbenah diri.
Yang menarik, kekuatan partai politik besar-P. Golkar dan PDIP-di kedua wilayah tersebut tidak mampu mendulang suara bagi kandidat masing-masing. Hal ini menunjukkan ada perbedaan pilihan antara pilihan partai politik dan pilihan sosok kandidat di kedua wilayah tersebut.
Kondisi yang sama juga terungkap dalam jajak pendapat INSPIRA yang bekerjasama dengan salah satu LSM di Jakarta dalam mencermati pergerakan suara pemilih pada 17 - 19 April 2008. Minat publik terhadap sosok kandidat gubernur berbanding terbalik dengan pilihan partai politik.



Perbedaan pilihan yang terjadi antara partai politik-terutama P. Golkar dan PDIP-dengan publiknya dalam menentukan pilihan kandidat gubernur merupakan pekerjaan rumah yang perlu dibenahi sedini mungkin. Mungkinkah kondisi ini mencerminkan dan merepresentasikan suara publik Pemilu 2009?
Rasanya terlalu awal untuk memastikan kondisi yang terjadi sebagai hal yang mutlak. Kecuali jika dalam pilkada-pilkada selanjutnya, khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur terulang kembali hal yang sama. Namun, dari pernyataan 450 responden yang tersebar di lima wilayah (Medan, DKI Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya) memungkinkan terjadinya inkonsistensi pilihan antara partai politik dan publiknya.
Seperti yang terungkap dalam jajak pendapat ini, hampir 70 persen responden yang memilih P. Golkar dan PDIP dalam Pemilu 2004 mempunyai pendapat yang berbeda dengan partai politik pilihannya dalam menentukan kandidat calon gubernur.
Untuk Jawa Barat dan Sumatera Utara, bagi partai politik yang kandidatnya kalah mungkin sudah dianggap lewat. Yang sudah ya sudahlah. Namun, pernyataan publik tersebut seharusnya bisa menjadi warning, tanda bahaya bagi partai politik bahwa sosok kandidat yang dibawanya bukanlah harapan publik.
Jika yang terjadi demikian, memang benar yang dirasakan oleh hampir 80 persen publik selama ini. ternyata partai politik-P. Golkar dan PDIP-gagal dalam menjalankan fungsinya sebagai saluran bagi aspirasi publiknya. Seandainya demikian yang terjadi, dan di internal partai tidak ada upaya untuk melakukan perubahan, entah apa yang terjadi di Pemilu 2009.
(TIM INSPIRA)

Read More......

Jumat, 11 April 2008

AL AMIN BIKIN PUBLIK PPP BERPALING

JAJAK PENDAPAT INSPIRA
11 April 2008


Tertangkapnya Al Amin Nasution, salah satu anggota DPR dari PPP, tak urung membuat publik berpandangan negatif terhadap partai berlambang kabah tersebut. Kemungkinan besar, perolehan suara PPP akan merosot pada Pemilu 2009 mendatang.

Analisis ini terangkum dari telesurvei yang telah diselengarakan INSPIRA dan salah partai politik pada 9-10 April 2008 di lima kota besar di Jawa (DKI Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya) dengan pengambilan sampel sebanyak 560 responden.


Berdasarkan ungkapan dan pernyataan yang dilontarkan publik, keberadaan PPP saat ini sedang di ujung tanduk. Kondisi demikian terbukti dari pernyataan 72 persen responden yang menilai buruknya citra PPP saat ini. Bahkan 77 persen responden berencana tidak akan memilih PPP sebagai salah satu partai politik yang akan bertarung dalam Pemilu 2009. Hal yang sama diungkapkan pula oleh 80 persen responden jika pemilu legislatif diadakan saat ini.

Dilihat dari aspek partai politik pilihan, hampir separuh responden (46 persen) yang memilih PPP pada Pemilu 2009 bahkan tidak akan memilih PPP lagi pada Pemilu 2009. Kondisi yang hampir sama juga diungkapkan oleh publik PPP jika Pemilu Legislatif diadakan saat ini.

Adapun terkait dengan citra anggota DPR saat ini, rupanya kasus Al Amin telah berdampak pada persepsi negatif terhadap perilaku korupsi yang terjadi di kalangan anggota DPR. Hal ini terungkap dari pernyataan 70 persen responden yang menilai buruknya citra anggota DPR. Bahkan dua dari tiga responden meyakini bahwa di kalangan anggota dewan sebenarnya masih banyak Amin Amin yang lain.

Meskipun dari sisi sebaran, populasi tidak merata tersebar di seluruh Indonesia, dan hanya mencakup publik di wilayah perkotaan, hasil telesurvei ini setidaknya memberikan gambaran bahwa DPR, partai politik, dan elit-elitnya berada dalam jangkauan publik. Oleh karena itu, menjaga citra merupakan salah satu strategi yang harus dikedepankan hingga Pemilu 2009 nanti.
(TIM INSPIRA)

Read More......

Kamis, 10 April 2008

PILKADA JABAR, TIDAK ADA KABAR

JAJAK PENDAPAT INSPIRA
10 April 2008

Hari Minggu, 13 April 2008 adalah hari penentuan bagi masyarakat Jawa Barat untuk memilih sang pemimpin. Namun, hal itu tidak berlaku bagi masyarakat yang berdomisili di daerah-daerah perbatasan.
Kondisi ini terbukti dari mayoritas masyarakat yang berada di wilayah-wilayah yang berbatasan antara Jawa Barat dan DKI yang belum terdaftar sebagai pemilih.


Tragis memang. Pilkada Jawa Barat rupanya hanya berlaku bagi masyarakat Jawa Barat yang berada di Bandung, Cirebon, Sukabumi, Tasikmalaya, Bogor dan sekitarnya. Namun, tidak bagi berlaku bagi orang-orang yang tinggal di daerah Depok dan Bekasi.
Kondisi ini tergambar dari penelitian yang memadukan antara telesurvei dan survei lapangan ini. Telesurvei yang bekerjasama dengan salah satu LSM Demokrasi ini menghimpun 420 responden yang tersebar di Kota Bandung, Cirebon, Sukabumi, Tasikmalaya, dan Bogor ini menunjukkan bahwa kinerja KPUD Jawa Barat relatif baik. Terbukti dari pernyataan lebih dari 90 persen responden yang mengakui telah terdaftar sebagai pemilih tetap pada Pilkada 13 April mendatang.
Namun, kondisi yang berbeda justru terjadi di wilayah-wilayah perbatasan. Dari 100 responden yang diambil secara acak di daerah-daerah perbatasan (Cinere, Cibubur, dan Sawangan), hampir 70 persen responden mengakui tidak terdaftar.
Adanya perbedaan di kedua wilayah tersebut menunjukkan bahwa KPUD Jawa Barat tidak bekerja secara maksimal dalam mendata para pemilih khususnya di wilayah-wilayah yang berbatasan langsung dengan Provinsi DKI Jakarta.
Di sisi lain, masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan pun menunjukkan ketidakpeduliannya dengan Pilkada Jawa Barat. Terbukti dari sikap 92 persen responden yang tidak peduli meskipun tidak atau belum terdaftar sebagai pemilih tetap.
Meskipun demikian, hampir seluruh responden mengetahui adanya Pilkada Jawa Barat. Hal ini dibuktikan dengan pemahaman mereka yang cukup besar terhadap sosok-sosok kandidat yang maju dalam pilkada tersebut. Yang menarik, di mata publik perbatasan, tokoh HADE dinilai lebih peduli menarik simpati mereka. Terbukti dari pernyataan 70 persen responden yang lebih banyak melihat poster dan simbol-simbol HADE di tempat-tempat umum ketimbang kandidat yang lain.
(TIM INSPIRA)

Read More......

Selasa, 26 Februari 2008

MENAKAR MANFAAT MEGAPOLITAN

Jajak Pendapat KOMPAS
Senin, 03 April 2006


Di mata masyarakat, konsep megapolitan yang selama ini dikhawatirkan oleh sebagian elite lokal bukanlah sesuatu yang mengkhawatirkan. Sebab, bagi mereka, persoalan yang paling penting dalam memberdayakan wilayah adalah bagaimana masyarakat dapat mendapatkan pelayanan publik yang lebih baik dan efisien.


Kesimpulan ini diperoleh berdasarkan jajak pendapat Kompas yang diselenggarakan pada 23-24 Maret 2006. Sikap positif 62,8 persen dari 656 responden yang tersebar di wilayah DKI Jakarta, Bekasi, Tangerang, Depok, Bogor, dan Cianjur mengisyaratkan bahwa kota megapolitan yang melibatkan berbagai wilayah di sekeliling DKI Jakarta merupakan usul yang baik bagi perkembangan di daerahnya.
Ada berbagai persoalan yang menimbulkan kuatnya keinginan publik terhadap daerahnya untuk masuk dalam satu wilayah megapolitan. Yang pertama, terkait dengan pelayanan pemerintah daerah terhadap masyarakat. Persoalan kelambanan, ketidakefektifan, dan ketidakefisienan pemerintah daerah dalam melayani masyarakat adalah satu alasan publik terhadap penerimaan konsep megapolitan.

Bahkan, 59,5 persen responden menyatakan ketidapuasannya terhadap kinerja pemerintah daerahnya dalam melayani masyarakat. Tidak mengherankan jika hampir 60 persen responden pun mengungkapkan hal yang sama dalam mencermati kinerja pemerintah daerah dalam menyediakan sarana dan prasarana bagi masyarakat.
Di tengah kinerja pemerintah daerah yang dianggap tidak mampu mengadopsi keinginan masyarakat itu, kehadiran wilayah megapolitan lalu ditanggapi dengan sikap penuh optimisme. Konsep megapolitan akan mewadahi DKI Jakarta dan daerah penyangganya, yaitu Bogor, Tangerang, Bekasi, Depok, dan Cianjur.
Sebagai satu kesatuan wilayah, tujuan ideal yang diharapkan adalah memadukan semua unsur pengembangan dan pembangunan kota. Sebab, selama ini kawasan Jabodetabekjur (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur) telah berkembang tanpa memedulikan tata kelola lingkungan daerah masing-masing. Dampak pembangunan, terutama di wilayah-wilayah penyangga DKI Jakarta, justru semakin berat.
Kepentingan warga pun menjadi telantar karena kebutuhan masyarakat yang kian kompleks tidak mampu diakomodasi secara menyeluruh oleh pemerintah daerah masing-masing.

Menyikapi kehadiran megapolitan, meskipun terdapat pro dan kontra, secara umum publik menanggapi secara positif. Dari aspek administratif pemerintahan, misalnya, 57,8 persen responden menyatakan sikap setuju jika semua wilayah yang dimaksud dalam megapolitan berada dalam satu wilayah administratif. Hal ini dikarenakan akan mengefektifkan dan mempermudah akses pemerintah kepada masyarakat. Meskipun demikian, publik bersikap ragu jika konsep megapolitan ini berakibat mengurangi peran dan kekuasaan kepala daerah masing-masing. Bahkan, 61,9 persen responden tidak setuju jika sosok kepala daerah harus dihilangkan demi mewujudkan kota megapolitan.
Selama ini telah muncul perdebatan antara eksekutif dan legislatif lokal dalam memahami konsep megapolitian. Kalangan eksekutif, baik gubernur, wali kota, maupun bupati di sebagian daerah Jawa Barat dan Banten, cenderung setuju dan mendukung konsep megapolitan yang akan menyinergikan konsep tata ruang secara terpadu. Namun, hal yang berbeda justru terjadi di kalangan legislatif lokal.
DPRD Provinsi Banten dan Jawa Barat sepakat menolak jika konsep megapolitan menjadi salah satu masalah yang diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Negara Indonesia Jakarta. Penolakan tersebut adalah wajar mengingat konsep megapolitan bisa mengarah pada pengertian peleburan wilayah administratif atau pencaplokan wilayah.
Dari perspektif geopolitik, pencaplokan wilayah yang menyudutkan peran kepala daerah memang berakibat negatif, baik bagi pemerintah pusat maupun pemerintah lokal di daerah masing-masing. Hal ini pun dikhawatirkan publik. Sebab, di satu sisi, jika semua kepala daerah hilang, beban politik pemerintah pusat yang berlebihan justru akan makin sarat.
Di sisi lain, hilangnya peran kepala daerah, selain berlawanan dengan spirit otonomi daerah, juga mengebiri demokrasi yang sedang dibangun.
Munculnya pro dan kontra di tingkat eksekutif-legislatif terhadap konsep megapolitan tak urung memunculkan kekhawatiran publik. Kondisi ini terekam di benak 67,5 persen responden yang mengkhawatirkan pembentukan wilayah megapolitan akan menimbulkan konflik antarelite politik. Bahkan, 66,8 persen responden mengkhawatirkan konflik vertikal yang terjadi di tingkat elite akan merembet dan menimbulkan konflik horizontal di masyarakat.
Terlepas dari isi usulan revisi UU No 34/1999, sebenarnya yang lebih penting diawasi oleh eksekutif-legislatif lokal adalah ekses negatif yang menimbulkan perubahan nilai-nilai di masyarakat. Hal ini sudah disadari oleh 59,1 persen responden yang mengkhawatirkan pembentukan wilayah megapolitan berpengaruh negatif terhadap kehidupan masyarakat lokal di daerahnya.
Bahkan, 61,4 persen responden meyakini jika konsep megapolitan sudah terwujud, pelan tapi pasti, ciri kelokalan di daerahnya pasti akan terbabat habis. Namun, di balik kekhawatiran-kekhawatiran yang dimungkinkan terjadi, sebagian besar publik menyimpan keyakinan bahwa konsep megapolitan akan diterima oleh masyarakat. Faktor ini banyak dipengaruhi oleh ketimpangan-ketimpangan yang terjadi selama ini, baik ketimpangan ekonomi, sosial, maupun sarana umum yang jauh berbeda antara DKI Jakarta dan daerah pinggiran.
Melihat kondisi di daerahnya saat ini, 59,6 persen responden meyakini implementasi megapolitan nantinya akan memajukan perekonomian di daerahnya. Jika hal ini terjadi, harapan akan munculnya wilayah-wilayah ekonomi baru tidak hanya bergantung kepada pihak pengembang swasta yang cenderung melahirkan wilayah satelit-satelit tanpa memandang aspek kelola lingkungan secara arif. Selain itu, keyakinan publik akan meningkatnya kuantitas dan kualitas sarana umum yang memadai diharapkan seirama dengan kemudahan masyarakat dalam mendapatkan akses pelayanan pemerintah.
Dengan demikian, Deklarasi Konferensi United Nations Centre for Regional Development (UNCRD) yang menyebutkan dalam konsep megapolitan terdapat beberapa bidang yang harus dikelola bersama, yaitu tata ruang, air, angkutan umum, listrik, sanitasi, kebakaran, pendidikan, dan kesehatan akan mampu terjawab. Dan, pada akhirnya konsep megapolitan yang secara holistik mampu mengakomodasi semua persoalan di pusat maupun pinggiran, bisa jadi, menjadi jawaban atas ketidakmampuan wilayah Jabodetabekjur dalam memenuhi kebutuhan masyarakat selama ini.
(TWEKI TRIARDIANTO,Litbang Kompas)




Read More......